Jihad di dalam Islam merupakan salah satu amalan mulia, bahkan
memiliki kedudukan paling tinggi. Sebab, dengan amalan ini seorang
muslim harus rela mengorbankan segala yang dimiliki berupa harta, jiwa,
tenaga, waktu, dan segala kesenangan dunia untuk menggapai keridhaan
Allah Azza wa Jalla. Sebagaimana yang telah difirmankan Allah Ta’ala:
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan
harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Meraka berperang di
jalan Allah. Lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi)
janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur’an. Dan
siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka
bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah
kemenangan yang besar.” (At-Taubah:111)
Karena amalan jihad merupakan salah satu jenis ibadah yang
disyariatkan oleh Allah Azza wa Jalla, maka di dalam mengamalkannya pun
harus pula memenuhi kriteria diterimanya suatu amalan. Yaitu ikhlas
dalam beramal dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam. Jika salah satu dari kedua syarat tersebut tidak terpenuhi,
maka amalan tersebut tertolak. Hal ini telah disebutkan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana dalam hadits Abu Musa
Al-Asy’ari radhyialllahu ‘anhu:
Ada seorang Badui datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu
bertanya: Ada seseorang yang berperang karena mengharapkan ghanimah
(harta rampasan perang, red), ada seseorang yang berperang agar namanya
disebut-sebut, dan ada seseorang yang berperang agar mendapatkan
sanjungan, manakah yang disebut fisabilillah? Maka jawab Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam:
من قاتل لتكون كلمة الله هي العليا فهو في سبيل الله
“Barangsiapa yang berperang agar kalimat Allah itulah yang tinggi, maka itulah fisabilillah.” (Muttafaqun alaihi)
Telah diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dalam Shahih-nya dari Abu
Dzabyan, ia berkata: Aku telah mendengar Usamah bin Zaid radhiyallahu
‘anhu bercerita:
Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengutus kami
(memerangi kaum musyrikin) ke daerah Huraqah. Lalu kami pun memerangi
mereka di pagi hari secara tiba-tiba. Akhirnya, kami dapat mengalahkan
mereka. Kemudian aku bersama seseorang dari kalangan Anshar mengejar
salah seorang dari mereka. Ketika kami mendapatkan dan hendak
membunuhnya, dia berkata: Laa ilaaha illallah. Maka Anshari tersebut
menahan pedangnya, namun aku (tetap) membunuhnya dengan tombakku hingga
mati. Maka ketika kami kembali, sampailah (berita ini) kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu beliau berkata: “Wahai Usamah, apakah
engkau membunuhnya setelah dia mengucapkan Laa ilaaha illallah?” Aku
menjawab: “Dia hanya menjadikannya sebagai perlindungan (bukan dari
hatinya).” Maka beliau terus menerus mengulangi ucapannya sehingga aku
berkeinginan bahwa aku tidak masuk Islam kecuali hari itu (karena beliau
merasa besar kesalahan yang dilakukannya sehingga dengan masuk Islam
bisa menghapuskan kesalahan yang terdahulu).
Riwayat ini menunjukkan bahwa di dalam mengamalkan agama Allah
Subhanahu wa ta’ala, tidak cukup hanya dengan semangat belaka, namun
juga harus dibarengi dengan ilmu agar di dalam mengamalkan suatu amalan
dilakukan di atas bashirah (ilmu).
Bunuh Diri Adalah Haram Secara Mutlak
Riwayat-riwayat yang datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam menjelaskan bahwa membunuh diri sendiri dengaN menggunakan alat
apapun merupakan salah satu dosa yang sangat besar di sisi Allah Azza
wa Jalla. Berikut ini hadits-hadits yang berkaitan dengan larangan
tersebut:
- Diantaranya adalah apa yang diriwayatkan oleh Bukhari (5778) dan
Muslim (158) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Bersabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
(( من قتل نفسه بحديدة فحديدته في يده يتوجأ بها في بطنه في نار جهنم
خالدا مخلدا فيها أبدا ومن شرب سما فقتل تفسه فهو يتحساه في نار جهنم خالدا
مخلدا فيها أبدا ومن تردى من جبل فقتل نفسه فهو يتردى في نار جهنم خالدا
مخلدا فيها أبدا ))
“Barangsiapa yang bunuh diri dengan besi di tangannya, dia (akan)
menikam perutnya di dalam neraka jahannam yang kekal (nantinya), (dan)
dikekalkan di dalamnya selama-lamanya. Dan barangsiapa yang meminum
racun lalu bunuh diri dengannya, maka dia (akan) meminumnya
perlahan-lahan di dalam neraka jahannam yang kekal, (dan) dikekalkan di
dalamnya selama-lamanya. Dan barangsiapa yang bunuh diri dengan
menjatuhkan dirinya dari atas gunung, dia akan jatuh ke dalam neraka
jahannam yang kekal (dan) dikekalkan di dalamnya selama-lamanya.”
- Diriwayatkan pula oleh Bukhari dan Muslim dari Tsabit bin Dhahhak
radhyiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
(( ومن قتل نفسه بشيئ في الدنيا عذب به يوم القيامة ))
“Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu di dunia, maka dia disiksa dengan (alat tersebut) pada hari kiamat.”
- Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, ia berkata: Kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
pada perang Khaibar. Kemudian beliau berkata pada seseorang yang
mengaku dirinya muslim: “Orang ini dari penduduk neraka.” Ketika terjadi
pertempuran, orang tersebut bertempur dengan sengitnya lalu terluka.
Dikatakan kepada beliau: “Wahai Rasulullah, yang engkau katakan bahwa
dia dari penduduk neraka, sesungguhnya pada hari ini dia ikut bertempur
dengan sengitnya, dan dia telah mati.” Jawab Rasulullah shallallajhu
‘alaihi wasallam: “(Ia) masuk neraka.” Hampir saja sebagian manusia ragu
(dengan ucapan tersebut). Ketika mereka dalam keadaan demikian, lalu
mereka dikabari bahwa dia belum mati akan tetapi terluka dengan luka
yang sangat parah. Ketika malam hari dia tidak sabar lagi dan bunuh
diri. Lalu dikabarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang
hal tersebut, lalu beliau berkata: “Allahu Akbar, aku bersaksi bahwa
sesungguhnya aku adalah hamba Allah dan Rasul-Nya.” Beliau memerintahkan
Bilal untuk berteriak di hadapan manusia:
(( إنه لا يدخل الجنة إلا نفس مسلمة وإن الله ليؤيد هذا الدين بالرجل الفاجر ))
“Sesungguhnya tidaklah ada yang masuk surga kecuali jiwa yang muslim,
dan sesungguhnya Allah menguatkan agama ini dengan laki-laki yang fajir
(berbuat dosa ).”
Dalil-dali di atas sangat jelas mengharamkan bunuh diri dengan segala
macam jenisnya dan dengan cara apapun. Inilah yang difahami oleh para
ulama rahimahullah. Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu:
“Intihar adalah bunuh diri secara sengaja dengan sebab apapun, dan ini
diharamkan dan termasuk dosa yang paling besar.” (Fatawa Islamiyyah,
4/519).
Fatma Ulama Tentang Bom Bunuh Diri
Para aktivis pergerakan dari kalangan hizbiyyun yang melakukan amalan
hanya bermodal semangat dan tidak berusaha memecahkan suatu
permasalahan secara ilmiah berdasarkan pandangan yang shahih dari
Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam serta tidak
menjadikan ulama rabbani sebagai rujukan, menyebabkan mereka melakukan
pembelaan terhadap amalan yang batil ini.
Kalangan “ulama” mereka pun berusaha mendukung dengan cara menempatkan
dalil namun tidak pada tempatnya. Bahkan tidak sedikit dari mereka
merendahkan fatwa ulama yang melarang amalan ini dengan menyatakan:
“Mereka adalah ulama yang tidak mengerti waqi’ (kondisi).” “Mereka hanya
pantas mengurusi masalah haid dan nifas saja. Adapun masalah jihad,
maka ada ulama tersendiri.” Masya Allah!
Ternyata yang mereka anggap sebagai ulama adalah para “ulama gadungan”
yang memiliki pemikiran Khawarij, Quthbiyah, dan Ikhwani seperti Salman
Al-Audah, Sulaiman Al-Ulwan, Ibrahim Ad-Duwaisy, Sa’id bin Musfir, Yusuf
Al-Qardhawi, dan yang semisal mereka. Bahkan di antara mereka ada yang
menukilkan ijma’ para ulama tentang bolehnya hal tersebut. Bukankah ini
penukilan yang aneh? Bagaimana mungkin terjadi ijma’ dalam keadaan para
ulama besar mengingkari perbuatan ini, seperti Al-Allamah Muhammad
Nashiruddin Al-Albani, Abdul Azis Alus Syaikh, Muhammad bin Shalih
Al-Utsaimin, dan yang lainnya rahimahumullah ta’ala.
(Lihat Tahrirul Maqaal Fi Annahu Intihar Wa Laisa Isytisyhaad, Abu Muhammad Nashir As-Salafi, 17)
Berikut ini adalah fatwa dari Al-Allamah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah ta’ala:
“Adapun yang dilakukan oleh sebagian orang berupa intihar (melakukan bom
bunuh diri) dengan cara membawa peledak (bom) kepada sekumpulan
orang-orang kafir, kemudian meledakkannya setelah berada di
tengah-tengah mereka, sesungguhnya ini termasuk bunuh diri, wal ‘iyadzu
billah. Barangsiapa yang membunuh dirinya, maka dia kekal dan dikekalkan
dalam neraka Jahannam selamanya sebagaimana yang terdapat dalam hadits
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebab, bunuh diri tidak memberi
kemaslahatan bagi Islam karena ketika dia bunuh diri dan membunuh
sepuluh atau seratus atau dua ratus (orang kafir), tidaklah memberi
manfaat kepada Islam dengan perbuatan tersebut di mana manusia tidak
masuk ke dalam Islam. Berbeda dengan kisah anak muda tersebut (maksudnya
adalah kisah Ashabul Ukhdud yang panjang, lihat haditsnya dalam
Riyadhus Shalihin hadits no. 30 bab: Sabar, pen).
Dan boleh jadi, yang terjadi musuh justru akan semakin keras
perlawanannya dan menjadikan darah mereka mendidih. Sehingga semakin
banyaklah kaum muslimin yang terbunuh sebagaimana yang ditemukan dari
perlakuan Yahudi terhadap penduduk Palestina. Jika mati salah seorang
dari mereka dengan sebab peledakan ini dan terbunuh enam, tujuh, maka
mereka mengambil dari kaum muslimin –dengan sebab itu- enam puluh orang
atau lebih sehingga tidak mendatangkan manfaat bagi kaum muslimin dan
tidak bermanfaat pula bagi yang diledakkan di barisan-barisan mereka.
Oleh karena itu, kami melihat, apa yang dilakukan oleh sebagian manusia
berupa tindakan bunuh diri, kami anggap bahwa hal itu adalah membunuh
jiwa tanpa hak dan menyebabkan masuknya ke dalam neraka, wal iyadzu
billah. Dan pelakunya bukanlah syahid. Namun jika seseorang melakukan
itu dengan anggapan bahwa hal tersebut boleh, maka kami berharap agar
dia selamat dari dosa. Adapun bila dianggap syahid, maka tidak demikian.
Sebab, dia tidak menempuh cara untuk mati syahid. Dan barangsiapa yang
berijtihad dan dia salah, maka baginya satu pahala.” (Syarah Riyadhus
Shalihin 1/165. Lihat pula: Tahrir Al-Maqaal: 23-24).
Hukum Menerobos Sarang Musuh
Banyak terjadi kesalahpahaman tentang riwayat-riwayat yang terdapat
dalam hadits Nabi shallalahu ‘alaihsi wasallam dan para sahabatnya
berkenaan tentang masalah ini, disebabkan ketidaktepatan mereka dalam
menempatkan nash-nash tersebut pada posisi yang semestinya yang
menyebabkan mereka tidak bisa membedakan antara hukum bom bunuh diri
dengan menyerang ke barisan musuh (sarang musuh) sampai mati. Dalam
masalah ini telah terjadi tiga kubu:
- Pertama adalah kubu yang membawa nash-nash tentang menyerang ke
barisan musuh kepada bolehnya melakukan bom bunuh diri, sebagaimana yang
difahami oleh para hizbiyyun dari kalangan Ikhwanul Muslimin dan
selainnya.
- Kedua adalah kubu yang menganggap seluruhnya adalah tindakan bunuh
diri, termasuk menyerang ke sarang musuh hingga mati. Ini difahami oleh
sebagian orang yang mengaku Ahlu Sunnah tapi jahil dan tidak mampu
membedakan antara dua keadaan.
- Yang benar adalah kubu yang ketiga, yang membedakan antara kedua hukum
disebabkan karena terjadinya perbedaan kondisi. Di mana keadaan kedua
ini dengan cara sebagian masuk ke daerah musuh lalu melakukan
pertempuran hingga terbunuh melalui tangan musuh, bukan meledakkan tubuh
sendiri. Adapun keadan kedua ini adalah amalan yang disyari’atkan
berdasarkan dalil-dalil yang akan kita sebutkan beserta perkataan para
ulama.
Diantara dalil disyariatkannya amalan tersebut:
Tentang tafsir firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 195:
Diriwayatkan oleh Tirmidzi (4/72) dari Aslam Abu Imran At-Tujibi, ia
berkata: Ketika kami berada di daerah Romawi, mereka mengeluarkan
barisan (tentara perang) yang besar. Maka keluarlah kaum muslimin
semisal (jumlah mereka) atau lebih untuk menghadapi mereka. Yang
memimpin tentara Mesir adalah Uqbah bin Amir dan jamaah yang lainnya
dipimpin Fudhalah bin Ubaid. Maka salah seorang dari kaum muslimin
menerobos masuk ke barisan Romawi hingga masuk ke tengah-tengah mereka.
Maka berteriaklah manusia dan berkata: Subhanallah, dia telah
melemparkan dirinya ke dalam kebinasaan.” Maka berdirilah Abu Ayyub
Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Wahai sekalian manusia,
sesungguhnya kalian telah mentakwil ayat ini dengan menakwilan seperti
ini. (Padahal) sesungguhnya ayat ini turun berkenaan dengan kami kaum
Anshar di saat Allah telah memuliakan Islam dan semakin banyak para
penolongnya, maka sebagian kami berbisik terhadap sebagian lainnya tanpa
sepengetahuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: ‘Sesungguhnya
harta kita telah terlantar dan sesungguhnya Allah telah muliakan Islam
dan semakin banyak penolongnya. Maka sekiranya kita memperbaiki
perekonomian kita dan menata kembali apa yang telah terlantar.’ Lalu
Allah Azza wa Jalla menurunkan firman-Nya tersebut kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai bantahan dari apa yang kami
katakan. Maka kebinasaan (yang dimaksud) adalah memperbaiki perekonomian
dan menatanya lalu meninggalkan peperangan.’ Maka Abu Ayyub terus
berjihad di jalan Allah sampai beliau dikuburkan di Romawi.”
(Hadit ini dishahihkan oleh Syaikhuna Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i dalam Ash-Shahihul Musnad Fi Asbabin Nuzul: 34).
Lihat pula penafsiran para ulama dalam menafsirkan surat Al-Baqarah ayat
207, dimana Umar bin Khattab dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma
membantah komentar orang yang mengatakan tentang salah seorang yang
menerobos masuk di antara dua barisan musuh dengan menyatakan: Dia telah
melemparkan dirinya dalam kebinasaan. Maka mereka dibantah oleh Umar
dan Abu Hurairah dengan firman Allah tersebut. (Diriwayatkan oleh Ibnu
Abi Syaibah dalam Mushannaf (5/303) dan Baihaqi dalam Al-kubra (9/46))
Telah diriwayatkan oleh Bukhari (2805) dan Muslim (3523) dari Anas bin
Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Pamanku Anas bin Nadhr tidak ikut
serta dalam perang Badar, maka beliau berkata: “Wahai Rasulullah, aku
tidak ikut perang pertama yang engkau memerangi musyrikin. Sekiranya
Allah memberi kesempatan padaku hadir dalam memerangi musyrikin, maka
Allah akan melihat apa yang akan aku perbuat!” Maka ketika pecah perang
Uhud dan kaum muslimin kalah, beliau berkata: “Ya Allah, sesungguhnya
aku berudzur padamu dari apa yang dilakukan mereka ini (yaitu larinya
kaum muslimin dari medan pertempuran) dan aku berlepas diri kepadamu
dari apa yang dilakukan mereka ini (kaum musyrikin).” Lalu beliau maju
dan bertemu Sa’ad bin Mu’adz lalu berkata: “Wahai Sa’ad bin Mu’adz,
surga, demi Rabb-nya Nadhr, sesungguhnya aku mencium baunya di bawah
kaki Gunung Uhud.” Kata Sa’ad bin Muadz: “Aku tidak mampu berbuat
sepertinya wahai Rasulullah.” Berkata Anas bin Malik: “Lalu kami
menemukannya terdapat delapan puluh lebih luka berupa tebasan pedang,
tombak, dan lemparan panah. Dan kami menemukannya telah dicincang oleh
kaum musyrikin, maka tidak seorang pun mengenalnya kecuali saudara
perempuannya yang mengenali jarinya.” Berkata Anas bin Malik: “Kami
mengira bahwa ayat ini turun berkenaan tentangnya.” (Al-Ahzab: 23)
Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim (13/45-46) dari Anas bin Malik
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bangkitlah
kalian menuju surga yang seluas langit dan bumi.” Berkata Umair bin
Al-Humam Al-Anshari: “Wahai Rasulullah, surga seluas langit dan bumi?”
Beliau menjawab: “Iya.” Diapun berkata: “Bakhin, bakhin (ucapan yang
menunjukkan rasa takjub, pen).” Maka bertanya Rasulullah: “Apa yang
membuatmu mengucapkan bakhin bakhin?” Dia menjawab: “Tidak wahai
Rasulullah, melainkan aku berharap agar (aku) termasuk penduduknya.”
Beliau berkata: “Engkau termasuk penduduknya.” Maka dia mengeluarkan
beberapa buah korma dari tempatnya lalu memakannya, kemudian berkata:
“Jika aku hidup sampai aku memakan buah kormaku ini, sesungguhnya ini
adalah kehidupan yang panjang.” Diapun melempar korma yang ada di
tangannya kemudian bertempur hingga terbunuh.
Berkata An-Nawawi: “(Hadits) ini menunjukkan bolehnya menerobos ke
tengah orang-orang kafir dan menghadapi mati syahid. Dan ini boleh,
tidaklah dibenci menurut mayoritas para ulama.” (Syarah An-Nawawi,
13:46)
Masih ada beberapa dalil lain yang menunjukkan bolehnya amalan ini.
(Lihat Sunan Al-Kubra karangan Al-Baihaqi, bab: Man Tabarra’a
Bitta’arrudh Bil Qatl, 9: 43-44).
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah ta’ala: “Oleh karena
itu, para imam empat membolehkan seorang muslim menerobos ke dalam
barisan orang-orang kafir, meskipun besar perkiraannya bahwa mereka akan
membunuhnya jika yang demikian mendatangkan kemaslahatan bagi kaum
muslimin.” (Majmu’ Fatawa, 28: 540).
Membantah Syubhat yang Membolehkan Bom Bunuh Diri
Mereka yang berpendapat bolehnya melakukan bom bunuh diri selalu
menggunakan hujjah berupa dalil-dalil yang membolehkan menerobos masuk
ke sarang musuh, dan telah jelas bagi para pembaca rahimakumullah
perbedaan di antara keduanya. Namun ada satu dalil yang juga mereka
jadikan sebagai alasan bolehnya amalan ini, yaitu hadits yang
diriwayatkan oleh Muslim, yang menceritakan tentang Ashabul Ukhdud, di
mana seorang pemuda yang bertauhid memberikan petunjuk kepada sang raja
yang dzalim tentang cara membunuhnya, yang mendatangkan kemaslahatan
yang luar biasa, yaitu masuk Islamnya seluruh penduduk kampung dan
meninggalkan agama nenek moyangnya. (Lihat kisahnya dalam kitab Riyadhus
Shalihin bab “Sabar” hadits no. 30)
Bantahan terhadap pendalilan kisah ini dari beberapa sisi:
Pertama, hadits ini menggambarkan seorang pemuda yang terbunuh namun dia
menjadi sebab datangnya kemaslahatan yang jelas, yaitu masuk Islamnya
seluruh penduduk kampung. Berbeda dengan bom bunuh diri yang sama sekali
tidak mendatangkan kemaslahatan, bahkan kemudharatan yang semakin besar
dengan terbunuhnya kaum muslimin dalam jumlah yang semakin hari kian
bertambah. Manakah kemaslahatan itu? Apakah orang Yahudi
berbondong-bondong masuk Islam dengan sebab amalan tersebut? Berfikirlah
wahai orang-orang yang berakal.
Kedua, pemuda tersebut tidak membunuh dirinya sendiri namun dia terbunuh
melalui tangan sang raja disaat dia mengucapkan kalimat tauhid (yang
menyebabkan) masuk Islam seluruh penduduknya. Berbeda dengan bom bunuh
diri yang meledakkan diri sendiri bersama yang lainnya, (yakni) membunuh
diri sendiri dengan sengaja, manakah persamaan itu?
Ketiga, terdapat perbedaan antara bunuh diri dengan memberikan petunjuk
tentang cara membunuhnya disebabkan karena (ia) mendapatkan ilham akan
adanya kemaslahatan yang lebih besar. Adapun yang mereka lakukan tidak
lebih meninggalkan bekas yang lebih buruk yang menimpa kaum muslimin
dengan sebab balas dendam yang dilakukan oleh orang-orang kafir Yahudi
terhadap kaum muslimin yang lemah. Ditambah lagi kurangnya ilmu yang
mereka miliki serta tersebarnya kebid’ahan, kemaksiatan, dan jauhnya
mereka dari ilmu sunnah .Wallahul musta’an.
(Lihat Arraddu ‘Alaa Mujizil Intihaar, Mahir bin Dzafir Al-Qahthani: 6-7)
sumber :
http://almansuroh.wordpress.com/2009/07/18/bom-bunuh-diri-dalam-timbangan-syariat/#more-152
Tidak ada komentar:
Posting Komentar